Pages

Sabtu, 11 Januari 2014

Our Book - Story of Jogja #1

19 Desember 2013, merupakan salah satu hari paling penting di hidup Tia. Itu adalah hari dimana perjuangan kuliah selama kurang lebih 5 tahun 3 bulan dipertaruhkan. Iyaa, proses menuju hari itu aja memakan waktu 1,5 tahun. Kebayang betapa bete nya berkutat dengan lembaran- lembaran berisikan kata- kata akademis yang indah itu. It just might be a drop in the vast sea of academic production. Sebuah SKRIPSI itu mungkin hanya ibarat setetes air di lautan akademis yang luas. Tapi satu tetes itulah yang harus Tia perjuangkan untuk bisa memenuhi salah satu impian dari Tia dan para sahabat tersayang; “Bisa liburan akhir tahun di Jogja dengan gelar S.Pd di tiap nama kami”.

Bisa dibilang Tia adalah orang yang paling telat dapetin gelar itu. Gimana ngga? Di saat mereka (Eka, Dita, Riza) dari semenjak KKN udah mulai memikirkan alur skripsinya masing- masing, Tia aja belum kepikiran sama sekali untuk buat judul. Mengingat lingkungan di sekitar Tia yang notabene anak- anak Bahasa Inggris, yang juga udah terkenal lulusnya lama~ yah mau gimana lagi. Hihihi (Alasan!). Intinya Tia emang males buat skripsi. Tia bukan tipe orang yang suka berteori. Sedangkan, skripsi itu terdiri atas 70% teori dan 30% bagaimana kita melebay. Maksudnya ialah melebay dalam menulis. Semuanya harus berdasarkan teori, semuanya harus punya dasar, semuanya harus berdasarkan pendapat experts. Kalo kita mandai- mandai (maksudnya mengada- ada) nulis, ntar ditanya sama dosen dengan rada sinis, “Are you an expert?” Lah, gimana kita mau jadi expert coba kalo pemikiran kita dibatasi dan apa- apa harus ngikutin pendapat orang lain. Itulah salah satu ribetnya nulis skripsi. Kita gak bisa bebas berekspresi. 

Alasan lain kenapa skripsi Tia lama selesai mungkin dikarenakan Tia juga bekerja di salah satu tempat les di Pontianak, mengajar Bahasa Inggris disana hampir setiap hari. Sebenarnya ini juga bukan alasan kalo Tia pandai membagi waktu. Tapi itu dia. I got problem in time management. Susah banget membagi waktu antara skripsi dengan pekerjaan. Di kampus itu, kalo kita mau konsultasi, nunggu dosennya harus nunggu rambut numbuh 1 meter dulu, sedangkan kita yang punya pekerjaan di luar itu kan gak bisa selalu stay ditempat. Baru beberapa jam nunggu dosen, eh udah harus siap- siap buat ngajar. Alhasil dua- duanya jadi keteteran. Dosen gak ketemu, ngajar pun gak maksimal karena berangkatnya selalu in a rush alias buru- buru. 

Oleh karena itu, pada awal September, Tia putuskan untuk resign dari side- job Tia. Berhenti untuk ngajar Bahasa Inggris di Communicative English Course dan fokus ngerjain skripsi. Ini juga merupakan salah satu nasehat dari Kaa. Beliau bilang, “Ngerjain skripsi itu harus fokus.” Ya udah, jadi setelah itu Tia bener- bener serius menggarap skripsi yang sempat terbengkalai. Walaupun agak sedih juga awalnya, meninggalkan pekerjaan yang udah Tia geluti selama kurang lebih 4 tahun, banyak sekali kenangan dan pelajaran yang bisa Tia ambil dari sana,  sedih harus meninggalkan Bu Jannah yang selalu sabar dan pengertian, Pak Ibnu yang ramah, Nenek yang super baik dan sering ngasi empek- empek gratis, dan  murid- muridnya yang lucu- lucu dan ngangenin. Bisa dibilang kami uda punya emotional bounding disana. Sedih tapi.... tetap harus dijalanin karena inilah hidup. Dalam hidup kita selalu dihadapkan pada pilihan- pilihan. Dan jalan yang Tia pilih ini, harapannya dapat membawa Tia menuju perubahan yang lebih baik. Mudah- mudahan..

Sehari sebelum berangkat ke Jogja, kondisi badan Tia lumayan gak fit. Makannya gak teratur, istirahatnya kurang, dan mesti mengurus beberapa hal terkait kepergian Tia ke Jogja selama kurang lebih 2 minggu. Selama 2 minggu keberangkatan otomatis Tia harus mengurus cuti siaran, revisi skripsi yang belum kelar, daaan perizinan dari Mama Papa. Meskipun begitu, Tia yakin tanggal 27 Desember tetep bisa berangkat bareng Eka dan Dita untuk ketemu Riza di Jogja. Insya Allah. Kalo niat kita baik Insya Allah akan dimudahkan. Tiket keberangkatan juga udah dipesen sama temennya Eka, Wawan. Untungnya dapet temen yang kerja di travel itu, kita selalu dapet update tentang harga tiket murah. Iya beruntung Kaa punya temen kayak Wawan karena kita bisa dapet tiket langsung ke Jogja dengan harga yang cukup miring walaupun gak miring- miring banget. 

Malam sebelum berangkat Tia sempet nanya ke Riza mau dibawain apa dari Pontianak. Waktu itu Riza bilang terserah. Jadi Tia saranin, “Tia bawain bingke aja yah!”. Bingke merupakan salah satu kue khas Pontianak yang berwarna kuning kalo dimakan yummy banget. Teksturnya lembut dan apabila kita beli bingke nya di Bingke Fajar, maka akan ditemukan banyak varian bingke seperti bingke keju, bingke ubi, bingke susu, bingke kentang, dan lain- lain. Waktu itu Riza senang mau dibawain bingke dan cusss Tia sama Eka pergi malam itu hujan- hujan untuk nyariin Riza bingke keju. Dengan mantel Tia yang imut dan mantel ristoja Eka yang merah menyala (mirip pemadam kebakaran), berangkat lah kami berdua menerjang hujan badai untuk beliin Riza bingke.
Setelah dibeli, bingke- bingke Riza dibawa oleh Tia dan Tia simpan di dalam kulkas. Unfortunately, ternyata pas di bandara Tia lupa bawa kue bingke nya dan itu membuat usaha kami semalam jadi sia- sia .________.

0 komentar:

Posting Komentar